Home » » Guru Honorer Nyambi Kuli Angkut Arang

Guru Honorer Nyambi Kuli Angkut Arang

Written By Seputar Lebak on Jumat, 30 Maret 2012 | 01.54


Profesi guru swasta bagi pengajar di pedalaman tak sepenuhnya bisa dibanggakan. Untuk memenuhi tuntutan ekonomi keluarga diharuskan memiliki pekerjaan tetap yang lain. Tak peduli, meski harus menjadi kuli angkut.
Itulah pilihan yang harus dilakoni Sudrajat, guru Madrasah Ibtidaiyah ‘Mathlaul Anwar’ Sepang di Desa Pajagan, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Kalau bukan panggilan jiwa, mungkin dia sudah meninggalkan profesi mulianya itu yang sudah digeluti sejak 13 tahun lalu.
Sebab, honor Rp300.000 per bulan tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan tanggungan satu isteri dan dua anak. Belum lagi pembayaran yang lebih sering telambat diterima.



Sebagai upaya agar dapur tetap ‘ngebul’, sudrajat pun terpaksa menjadi kuli angkut arang milik salah satu pengusaha setempat. Setiap pagi hingga siang hari pada Senin hingga Sabtu, dia menunaikan tugasnya sebagai pengajar. Menuntun satu persatu anak didiknya belajar membaca, menulis dan berhitung (calistung).
Maklum, sebagian besar murid MI ‘Mathlaul Anwar’ itu bukan lulusan Taman Kanak-kanak yang sekolah sudah bisa calistung. Bahkan, hampir seluruhnya yang duduk di kelas I masih polos tanpa kemampuan baca tulis. Karenanya, menjadi guru di MI membutuhkan ketekunan dan ketegaran yang menguji kesabaran.
Sepulang mengajar, Sudrajat mulai menunaikan tugas sebagai ayah yang harus memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Karena tak punya keahlian lain kecuali mengajar, tak banyak pilihan bagi dia untuk mencari rezeki. Sebab bertani tak punya lahan, menggarap sawah tidak ada warisan.
Sementara, peluang berjualan kebutuhan sembako tak bisa dijalani karena terbatas modal. Satu potensi lain yang masih dimiliki pria jelang paruh baya ini adalah tenaganya, yakni menjadi buruh angkut atau bagi masyarakat setempat disebut kuli panggul.
Hampir setiap sore setelah mengajar, Sudrajat mengangkut arang milik salah satu juragan setempat. Setiap harinya, 50 sampai 80 karung arang masih mampu dia angkut dengan upah Rp2.000 per karung.
Padahal jarak tempuh mencapai tiga kilometer. Dengan mengeksploitasi fisiknya itu, Sudrajat mendapat upah Rp50 ribu hingga Rp80 ribu per hari. Uang inilah yang dia manfaatkan untuk menghidupi anak dan istrinya.
“Sepulang mengajar, saya jadi kuli panggul arang. Jauhnya sekitar 3 kilometer. Sehari paling mampu 50-80 karung arang. Upahnya Rp2.000 per karung,” tutur Sudrajat lirih. Lantas apa yang membuat dia mampu bertahan sebagai guru? “Panggilan jiwa,” jawabnya.
Pria berkumis tebal ini mengaku tak pernah mengeluh meski penghasilan dari mengajar tak memenuhi kebutuhan hidup. Dia juga mengaku tak malu meski harus menjadi kuli panggul untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
“Rezeki itu Allah yang mengatur, manusia hanya ikhtiar saja. Saya tak punya pikiran hidup akan melarat. Sebab, selama mau usaha pasti tetap bisa makan,” ujar suami dari Sumarni ini mengungkapkan prinsip hidup yang dipegang teguh hingga saat ini.
Kata dia, keberadaan istri dan dua buah hatinya yang membuat dia tetap semangat menjalankan panggilan jiwanya menjadi guru. Apalagi, harapan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sekarang lebih besar ketimbang dahulu kala, awal-awal dia memutuskan menjadi honorer. “Ya, impian dan harapan tetap ada. Terutama berharap diangkat jadi CPNS,” ujarnya agak pelan.*



0 komentar: